Mengenal Kearifan Lokal yang ada di daerah Pagaralam dan kaitannya dengan Bimbingan Konseling
Disusun oleh: Nocke T. Wahyuni
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perbedaan
yang hakiki antara manusia, baik secara individu maupun sebagai anggota
masyarakat, dengan makhluk hidup lainnya terutama dengan binatang, yaitu
terletak pada akal, pikiran, dan kemampuan intelektual yang dikaruniakan Al-Khalik (Maha Pencipta).
Makhluk hidup lain
yang bukan manusia tidak
dikaruniai akal dan budi. Hal yang
paling bermakna bagi
manusia, akal dan
kemampuan intelektualnya “ berkembang dan dapat dikembangkan. Berdasarkan yang dikemukakan di
atas, maknanya tidak
hanya terbatas pada
unsur-unsur yang berkaitan dengan
perilaku manusia dengan
segala kebiasaan dan
tradisinya, melainkan meliputi juga unsur-unsur material yang dihasilkan
oleh pemikiran dan karya manusia
serta berbagai peralatan
yang digunakannya. Bahkan menurut konotasi
ilmiah ini masuk
pada kategori hasil
dari kebiasaan yang menjadi sebuah kebudayaan.
Pengertian kebudayaan juga
meliputi sistem ilmu
pengetahuan yang dipelajari manusia
melalui antar komunikasi,
bahasa, kelembagaan, tradisi, dan
kebiasaan-kebiasaan.
Kebudayaan itu universal
dan menjadi ciri
khas masyarakat manusia. Berdasarkan
konsep tersebut kebudayaan
itu menjadi hak paten manusia.
Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan
lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan
tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal. Kearifan lokal
lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga
tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke
generasi. Perubahan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia.
Perubahan-perubahan yang terjadi bukan saja berhubungan dengan lingkungan
fisik, tetapi juga dengan budaya manusia. Budaya lahir karena kemampuan manusia
mensiasati lingkungan hidupnya agar tetap layak untuk ditinggali waktu demi
waktu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
itu pengertian kearifan lokal
2. Apa
saja ciri khas kearifan lokal di daerah Pagaralam?
3. Apa
yang melatarbelakangi adanya kekhasan budaya didaerah tersebut sehingga mempengaruhi aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik?
4. Implementasi
BK terhadap kearifan lokal yang ada pada masyarakat serta pendekatan dan model
Konseling Lintas Budaya yang digunakan?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui kearifan lokal budaya suatu daerah
2. Untuk
mengetahui ciri khas kearifan lokal didaerah pagaralam
3. Untuk
mengetahui latar belakang adanya kekhasan budaya itu sehingga masih diyakini
sampai saat ini.
4. Agar
dapat mengimplementasikan BK terhadap kearifan lokal yang ada pada masyarakat.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kearifan Lokal
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering
dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat
(local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal juga
dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi
nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat
diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk
perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal
akan mengusung jiwa mereka semakin berbudi luhur.
Kearifan
lokal adalah sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan sebagai petunjuk
perilaku seseorang. Kearifan lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya.
Haryati
Soebadio berpendapat bahwa kearifan lokal adalah suatu identitas/kepribadian
budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan
asing sesuai watak dan kemampuan sendir.
Menurut
Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh
kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya,
kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka
dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan
melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui
perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut. Menurut
Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya
masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan
pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi
kenusantaraan sebuah bangsa.
B.
Ciri
khas kearifan lokal di daerah Pagaralam
Ciri
khas budaya lokal dapat dikenali dalam bentuk kelembagaan sosial yang dimiliki
oleh suatu daerah tersebut. Kelembagaan sosial merupakan ikatan sosial bersama
di antara anggota masyarakat yang mengoordinasikan tindakan sosial bersama
antara anggota masyarakat. Lembaga sosial memiliki orientasi perilaku sosial ke
dalam yang sangat kuat. Hal itu ditunjukkan dengan orientasi untuk memenuhi
kebutuhan anggota lembaga sosial tersebut. Dalam lembaga sosial, hubungan
sosial di antara anggota masyarakat sangat bersifat pribadi dan didasari oleh
loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin dan gengsi sosial yang dimiliki. Bentuk
kelembagaan sosial tersebut dapat dijumpai dalam sistem gotong royong seperti
di daerah Pagaralam. Gotong royong merupakan ikatan hubungan tolong menolong di
antara masyarakat desa. Di daerah pedesaan, pola hubungan gotong royong dapat
terwujud dalam banyak aspek kehidupan. Kerja bakti, bersih desa, dan panen
bersama merupakan contoh dari aktivitas gotong royong yang sampai sekarang
masih dapat ditemukan di daerah pedesaan. Di dalam masyarakat Pagaralam,
kebiasaan gotong royong biasaya dilakukan akan ada acara pernikahan dan kematian.
Selain itu karakter budaya lokal masyarakat Pagaralam dapat dilihat dari
bahasanya dan caranya berbicara yang kuat, kemudian beberapa adat istiadat yang
masih sangat kental di daerah ini seperti sering dikenal dengan Pantauan yaitu
tradisi yang dipakai pada saat ada acara pernikahan, jadi masyarakat sekitar
menyiapkan hidangan di rumah masing-masing dan kedua mempelai pengantin di ajak
keliling makan kerumah penduduk sekitar, ini sudah menjadi tradisi di kota
Pagaralam bahkan sampai saat ini. Selain itu ada juga makanan yang menjadi ciri
khas daerah pagaralam yaitu Gunjing kemudian kopi dan teh yang juga menjadi
citi khas. Kota pagaralam juga terkenal dengan pesona berbagai tempat wisatanya
yaitu Gunung Dempo dan pesona air terjun yang ada di kota Pagaralam. Karena
letak Geografis Kota Pagaralam yang dikelilingi oleh alam dan derasnya aliran
air terjun sehingga membuat masyarakat Pagaralam yang tinggal di sana memiliki suara yang
keras karena pengaruh letak Geografis dan juga kebiasaan yang dipengaruhi oleh
lingkungan.
Berikut
lebih spesifik mengenai beberapa hal yang
menjadi ciri khas kearifan lokal yang ada di Pagaralam:
a. Bahasa
Salah
satu yang menjadi ciri khas suatu daerah adalah bahasa, bahasa yang digunakan
di daerah pagaralam yaitu bahasa suku Besemah, Besemah artinya Air yang ada Ikan
Semah, bahasa Besemah adalah sebutan untuk bahasa khas Pagaralam. Orang
Pagaralam asli biasanya mudah sekali dikenali dengan bahasa dan logatnya yang
menjadi ciri khas, dan diakhir kata banyak menggunakan “E” pada bahasa Pagaralam.
b. Kesenian
Kesenian
Pagaralam mulai dari Guritan yaitu sebuah cerita yang menceritakan tentang
pejuang pada zaman dulu, Berejung yaitu nyanyian yang identik dengan kesedihan,
Andai-andai yaitu kalau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Dongen
contoh judul Andai-andainya yaitu: Jambu mbak kulak (jambu sebesar cangkir) yang
menceritakan tentang orang yang sayang dengan adiknya, Gong mak raje (sarang
lebah) yang menceritakan tentang penipuan, Kancil nga gajah sebisanan (kancil
dan gajah jadi besan) yang menceritakan tentang orang yang mencelakakan orang lain. Tadut yaitu
suatu bentuk nyanyian yang berbentuk nasihat dan biasanya tentang keagaman
islam, yang kalau zaman sekarang sering dikenal dengan lagu-lagu religi.
Kemudiann lagu khas Pagaralam berikut contoh judul lagunya: Dirut (kisah orang
yang ibunya meninggal dan seorang ayah yang akan pergi merantau), Anak umang (kisah seorang yang
hidup sebatang kara). Kemudian Tarian yaitu tari kebagh yang merupakan tari
sambut bila ada acara-acara besar.
c. Adat
istiadat
Pantauan
merupakan adat istiadat yang digunakan untuk menjamu pengantin saat ada acara
pernikahan. jadi masyarakat sekitar menyiapkan hidangan di rumah masing-masing
dan kedua mempelai pengantin di ajak keliling makan kerumah penduduk sekitar,
ini sudah menjadi tradisi di kota Pagaralam bahkan sampai saat ini.
Kemudian
ada adat yang namanya persatuan, yaitu adat mengumpulkan beberapa bahan pangan
bisa berupa beras dan lain-lain untuk membantu orang yang apabila salah satu
dari keluarganya ada yang meninggal.
Selain
itu ada yang namanya “Begarehan” yaitu sebagai bentuk untuk meramaikan acara
pernikahan biasanya dilakukan sebelum resepsi pernikahan dilaksanakan. Biasanya
anak muda laki-laki dan perempuan dari berbagai desa berkumpul di satu rumah
yaitu rumah calon pengantin, dimana para anak muda tersebut saling berkenalan
dan bertukar candaan agar lebih dekat.
d. Keyakinan
Kemudian
ada adat yang namanya “Bayar sangi di tebat besak”, ini sama dengan membayar
nazar, orang-orang yang apabila bernazar dan ingin meminta sesuatu mereka
meyakini bahwa apa yang mereka minta tersebut melalui perantara penunggu danau
tersebut. Jika orang yang bernazar tersebut tidak membayar nazar disana
dipercayai akan ada akibatnya karena penunggu danau tersebut akan marah jika
tidak dipenuhi. Biasanya orang yang bernazar dan apabila terkabul akan memotong
kambing atau hajatan kecil disekita danau.
Tebat
gheban yang artinya “danau yang didekatnya ada kadang ayam” , ada 2 orang
bersaudara yang satunya sakit kulit jadi diasingkan di danau, tak lama kemudian
hilang dan dipanggil kemudian yang keluar seekor naga, naga itu mejawab aku
adalah adikmu. Jadi orang-orang disekitar mempercyai bahwa yang menjadi
penunggu danau itu adalah seekor naga. Jika orang memancing ikan, orang
memanggil naga maka ia akan lebih mudah mendapatkan ikan.
Kemudian
ciri khas yang berikutnya “Kuntau Salan” adalah sebuah seni beladiri yang ada
di kota pagaralam yang didirikan oleh seorang yang bernama Salan, berasal dari
desa suka raja, kecamatan Pajar bulan. Awalnya Salan mendapatkan ilmu beladiri
ini dari Macan Kumbang yang ada di Puncak Gunung Dempo.
Selanjutnya
adalah “Ulu Tulung” yaitu air yang keluar langsung dari dalam tanah dan tidak
diketahua asal mulanya dari mana, orang yang tinggal didaerah pemukinan
setempat mempercayai bahwa di tanah yang mengeluarkan air tersebut terdapat jin
atau penunggu disekitar ulu tulung. Orang-orang mempercayai bahwa biasanya
saat-saat jam tertentu seperti menjelang magrib penunggu “Ulu Tulung” itu sering
menampakan wujudnya dengan wujud menyeramkan sepertia anak kecil, dan sosok
oramg tua seperti kiyai. Penunggu itu akan menggangu apabila kita mengotori air
yang keluar dalam tanah tersebut. Biasanya orang yang mengganggu ulu tulung
akan sakit dan diganggu oleh penunggunya.
e. Makanan
-kembuhong
-kasam
-kelicok
pisang, kelicok padi pulut, kelicok bekayu,
-serabi
-kemplang
gadung
-na’am
-kecepol
-opak
mie
f. Wisata
-Gunung
Dempo
-Cughup
(Air Terjun)
-Situs-situs
Megalitikum
-Wisata
kebun teh
-Rumah
adat yaitu “Rumah Panggung”
C.
Latar
belakang yang menyebabkan masyarakat mempunyai keyakinan terhadap kearifan
lokal yang ada di Pagaralam
Banyak
sekali yang menjadi kekhasan dari kota Pagaralam mulai dari Bahasa, Wisata,
Kesenian, Adat istiadat serta mitos-mitos yang di yakini oleh orang-orang yang
tinggal di daerah Pagaralam dan lainya. Yang kemudian mempengaruhi aspek
kognitif, afektif dan konasi orang daerah setempat. Dari sekian banyak ciri
khas yang telah dijelaskan sebelumnya ada satu yang sangat khas dan membuat
saya tertarik untuk membahasnya dan mengetahui latar belangkangnya dan apa yang
menjadi penyebab sehingga bisa mempengaruhi keseharian orang daerah Pagaralam,
yaitu keyakinan masyarakat akan Seni beladiri “Kuntau Salan”.
“Kuntau
Salan “adalah suatu seni beladiri yang ada di kota Pagaralam yang didirikan
oleh seorang yang bernama Salan, berasal dari Desa Suka Raja, Kecamatan Pajar
Bulan. Awalnya Salan mendapatkan ilmu beladiri ini dari Macan Kumbang yang ada
di Puncak Gunung Dempo. Ia bertapa selama 40 hari 40 malam setelah itu datang
Macan Kumbang dan ia berguru dengan Macan Kumbang tersebut. tepat didekat tapak
makam Macan Kumbang. Alasan Salan ingin belajar Kuntau karena ingin menunjukan
jati diri laki-laki suku Besemah, sebab zaman dulu mereka beranggapan jika seorang laki-laki tidak
memiliki keahlian bela diri maka akan di remehkan orang dan orang berlaku
semena-mena, oleh karena itulah Salan mempelajari seni beladiri itu. Setelah ia
pulang dari bertapa di puncak gunung Dempo dan mendapatkan ilmu beladiri dari
Macan Kumbang maka Salan mendirikan sebuah perguruan beladir yang diberi nama
Perguruan Macan Kumbang. Belum lama perguruan itu berdiri sudah banyak
orang-orang disekitar kampung tersebut ingin berguru dan masuk ke perguruan
Macan Kumbang tersebut. sebelum orang yang ingin menjadi anggota perguruan
beladiri Macan Kumbang, ada beberapa ritual yang harus dipenuhi diantaranya
adalah memotong ayam hitam kemudian dibakar. Setelah itu semua murid perguruan
Macan Kumbang dikumpulkan dan disuruh memakan ayam hitam yang telah dibakar dengan
kondisi mata tertutup, untuk menentukan tingkat kecepatan dalam menguasai ilmu
beladiri Macan Kumbang yang akan diberikan nantinya. Contohnya jika yang
bersangkutan mendapat bagian kaki ayam maka dipercaya ia akan cepat menguasai
ilmu bela diri itu, apabila yang mendapat bagian dada maka akan sulit menguasai
atau tidak sama sekali menguasai ilmu beladiri. Mereka latihan setiap malam
jum’at dan menggunakan seragam Hitam dengan ritual latihan setiap peserta
diharuskan untuk membawa telur ayam hitam dan diletakan diatas tanah tidak jauh
dari tempat mereka latihan. Apabila yang tidak membawa telur ayam hitam maka ia
akan diganggu oleh Macan Kumbang bisa sampai kesurupan. Dengan alat latihan
yaitu tombak kayu yang dalam bahasa Pagaralam dinamakan “Balau”, kemudian pisau
kembar yang dalam bahasa Pagaralam disebut “Wali due”. Kekhasan dari seni bela
diri macan kumbang ini adalah selalu menggunakan senjata dan kekuatan utamanya
terletak pada senjatanya karena dipercaya didalam senjata yang mereka gunakan
terdapat kekuatan gaib yang menambah kekuatan mereka sebagai alat menyerang dan
mempertahankan diri dari serangan musuh. Pernah terjadi perselisihan atau
kecemburuan sesama anggota sehingga menimbulkan dendam, dan yang menguaasai
ilmu lebih suka bersifat angkuh terhadap sesama dan sampai terjadi perkelahian
sesama meraka yang saling adu kekuatan sama-sama ingin menunjukan jati dirinya.
Hal
itulah yang mempengaruhi apsek kognitif masyarakat Pagaralam mereka selalu
berpikiran bahwa untuk menunjukan jati diri mereka harus dengan menguasai ilmu
beladiri “Macan Kumbang” dan jika laki-laki tidak menguasai ilmu itu maka akan
dianggap remeh sehingga pemikiran-pemikiran seperti itu masih terus tertanam
hingga saat ini. Selain itu hal yang terus ada dalam pemikiran mereka bahwa
senjata yang dinamakan “Balau” dan “Wali Due” itu bisa menambah kekuatan mereka
karena mereka mempercayai bahwa ada kekuatan yang diberikan Macan Kumbang
dibalik senjata itu. Mereka juga mempercayai bahwa diatas Puncak Gunung Dempo
ada Macan Kumbang yang mereka sebut sebagai penunggu Gunung tersebut. sebagai
contoh bahwa hal itu memepengaruhi kognitif dan afektif masyarakat setempat
dulu saat SMA saya pernah meminta izin dengan orang tua saya untuk mendaki
Puncak Dempo bersama teman-teman SMA saya, tetapi orang tua saya tidak
mengizinkan karena menurut pemikiran mereka bahwa di atas Puncak Dempo itu ada
penunggunya yaitu Macan Kumbang, nanti terjadi apa-apa. pemikiran-pemikiran
yang sudah ditanamkan sejak dulu bahkan masih terus terngiang dibenak
masyarakat sampai saat ini sehingga mereka terus mempunyai perasaan takut
apabila anak mereka ingin pergi ke puncak Dempo karena sering terjadi sesuatu
pada pendaki Puncak Dempo. Kemudian kembali lagi pada seni beladiri yaitu
“Kuntau”, dulu apabila orang ingin merantau harus menguasai ilmu beladiri ini
dulu sebagai kekuatannya dan menunjukan jati dirinya. Sampai sekarang jika
anak-anak yang masih tinggal di Daerah Suka Raja atau yang masih benar-benar di
desa yang ada dipagaralam masih mempercayai ini, anak mereka yang laki-laki
harus ikut belajar “Kuntau” agar saat ia pergi meninggalkan kota Pagaralam ia
tidak akan diremehkan dengan orang lain karena ia memiliki ilmu beladiri yaitu
“Kuntau” dan dua senjata yaitu “Wali Due”. Jadi mereka merasa bahwa mereka
mempunyai kekuatan dan orang lain tidak akan berani terhadapnya. Hal itulah
yang terus menerus mempengaruhi aspek kognif, afektif dan Konasi pada
masyarakat Pagaralam.
D.
Implementasi
BK terhadap kearifan lokal yang ada pada masyarakat serta pendekatan dan model
Konseling Lintas Budaya yang digunakan
Pada
penjelasan sebelumnya sudah diketahui apa saja kearifan lokal yang ada di
Pagaralam dan apa saja yang melatarbelakangi hal tersebut sehingga masyarakat
meyakini dan hal itu juga mempengaruhi aspek kognifif, afektif dan juga konasi
dalam keseharian masyarakat Pagaralam. Jadi sekarang bagaimana implementasi
atau keterlibatannya dalam BK. Seandainya menemukan konseli yang memiliki
budaya seperti yang sudah dijelaskan di atas, dan konseli tersebut
mempertahankan budayanya dengan kokoh bahwa untuk menunjukan jati diri itu harus
menguasai ilmu beladiri yaitu “Kuntau Salan” berdasarkan budaya Pagaralam. Maka
yang harus kita lakukan sebagai konselor adalah dengan menggunakan Model
Konseling Lintas budayaa yaitu “Model Integratif (Integrative Model)”
Berdasarkan
uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani,
2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam
konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
a. Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial
(reactions to racial oppression).
b. Pengaruh budaya mayoritas (influence of
the majority culture).
c. Pengaruh budaya tradisional (influence of
traditional culture).
d. Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga
(individual and family experiences and endowments).
Menurut
Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulit untuk
memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi
kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap
pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan
pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang
memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang
tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah
colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai-nilai budaya yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling
ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang
dimiliki individu dari berbagai varibel di atas. Jadi pada model konseling
lintas budaya “Model Integratif” ini bagaimana seorang konselor melakukan
asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional konseli
yang diturunkan dari generasi ke generasi dan bagaimana kebudayaan itu
memfasilitasi konseli untuk berkembang baik secara disadari ataupun tidak
disadari. Jadi setelah konselor melakukan asesmen dan mengetahui latar belakang
budaya konseli dan apa saja yang ada dibalik itu sehingga konseli meyakini
budaya yang dimilikinya itu dan konselor mampu memahami budaya konseli dengan
baik. Setelah itu baru konseli bisa memberi pemahaman terhadap budaya yang
dimiliki oleh konseli. Konseli yang tadi menyakini bahwa ilmu beladiri “Kuntau
Salan” adalah sebagai bentuk untuk menunjukan jati diri mereka. Disini konselor
bisa melakukan pendekatan dan bertanya terlebih dahulu kepada konseli, apakah
menunjukan jati diri harus dengan ilmu beladiri? Kenapa tidak dengan prestasi
dan dengan memahami potensi yang ada dalam diri bukankah itu juga salah satu
cara untuk menemukan dan menunjukan jati diri kita yang sebenarnya? Jadi disini
konselor tidak membuat konseli merubah budayanya akan tetapi bagaimana konselor
mengajak konseli untuk berpikir rasional dari setiap kebudayaan yang ia miliki.
Kemudian
selain dengan model konseling lintas budaya “Model Integratif” pendekatan yang
digunakan pada Konseling lintas budaya ini adalah “Pendekatan inklusif
atau transcultural”, Mereka menggunakan
istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk
menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan
resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 :
156). Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa
pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan
pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan
karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Pendekatan
konseling trancultural mencakup komponen berikut.
a) Sensitivitas
konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling
yang digunakannya.
b) Pemahaman
konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
c) Kemampuan
dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang
merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
d) Kemampuan
konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Jadi
pada pendekatan konseling transtruktural ini konselor dan konseli harus
memahami nilai-nilai budaya yang ada dalam dirinya, konselor harus
merefleksikan kebutuhan budaya konseli, seperti budaya konseli yang menunjukan
jati diri dengan Ilmu beladiri tadi, jadi disini konselor melihat apa yang
sebenarnya dibutuhkan oleh konselinya sehingga konselor bisa merefleksikan
budaya konselinya. Jadi dengan model konseling lintas budaya “Model Integratif”
dan “Pendekatan Konseling Transtruktural” maka konseling lintas budaya sesuai
dengan budaya yang dimiliki oleh konseli ini akan mampu dipahami dengan baik.

Gambar 1.1 “Seni
Beladiri Kuntau Salan”
Komentar
Posting Komentar